Wednesday, January 15, 2025

Senja di Taman Kota


Di tengah hiruk-pikuk kota, ada sebuah taman kecil yang sering kukunjungi saat senja menjelang. Tempat itu memiliki keajaiban tersendiri—angin sejuk, aroma rumput segar, dan langit yang perlahan berubah menjadi jingga. Namun, keindahan itu menjadi lebih bermakna sejak aku bertemu dengannya di sana.

Hari itu, aku datang lebih awal dari biasanya, membawa sebuah buku yang ingin kubaca sambil menikmati suasana. Aku duduk di bangku favoritku di bawah pohon besar. Saat tenggelam dalam halaman demi halaman, suara yang tak asing mengagetkanku.

“Boleh duduk di sini? Semua bangku lain penuh,” katanya.

Aku mendongak, dan dia berdiri di sana—wajah yang tak pernah kulupakan sejak saat itu. Senyumnya ramah, meski ada sedikit canggung dalam cara bicaranya. Aku hanya mengangguk pelan sambil memindahkan tasku untuk memberinya tempat duduk.

Kami duduk berdampingan, dalam keheningan yang aneh tapi nyaman. Dia mengeluarkan sebuah buku sketsa dan mulai menggambar. Aku, yang biasanya enggan memulai percakapan, akhirnya tak tahan untuk bertanya.

“Kamu suka menggambar?” tanyaku pelan, berharap tidak mengganggu konsentrasinya.

Dia menoleh, sedikit terkejut karena aku akhirnya membuka suara. “Iya. Rasanya lebih mudah bicara lewat gambar daripada kata-kata.”

Aku tersenyum. “Menarik. Aku suka menulis, tapi kadang sulit menemukan kata-kata yang tepat.”

“Kalau begitu, kita sama,” katanya, menatapku lebih lama. “Aku Faiz, kamu?”

“Arin,” jawabku, sambil berusaha menyembunyikan detak jantungku yang mendadak tak teratur.

Dan begitulah, dari percakapan sederhana itu, kami mulai bertukar cerita. Dia sering datang ke taman itu untuk mencari inspirasi. Katanya, senja adalah waktu terbaik untuk menggambar karena warnanya selalu berubah, seperti emosi manusia. Aku bercerita bagaimana tempat itu menjadi pelarianku dari dunia yang kadang terasa terlalu sibuk dan bising.

Hari-hari berikutnya, aku jadi menantikan sore di taman lebih dari biasanya. Setiap kali aku tiba, Faiz sudah di sana, duduk di bangku yang sama, dengan senyum kecil yang menyambutku. Kami mulai berbagi lebih banyak hal—tentang musik yang kami suka, film favorit, dan mimpi-mimpi yang ingin kami kejar.

Faiz adalah orang pertama yang membuatku merasa dipahami tanpa aku harus berusaha keras menjelaskan. Dia tidak pernah menilai apa pun yang aku katakan. Sebaliknya, dia membuatku percaya bahwa aku bisa lebih berani mengejar apa yang aku inginkan.

Suatu sore, saat langit senja berubah menjadi merah muda, Faiz memberiku sesuatu. Sebuah sketsa kecil yang dia gambar sendiri. Di dalamnya, ada dua siluet duduk di bangku taman, dikelilingi oleh pohon dan bunga. Di sudut atas, dia menulis kata-kata sederhana: “Setiap senja punya cerita, dan kau adalah salah satu yang terbaik.”

Aku tidak tahu bagaimana harus membalasnya saat itu. Kata-kataku tersangkut di tenggorokan, tetapi Faiz hanya tersenyum.

“Jangan jawab sekarang,” katanya pelan. “Mari nikmati senja ini saja dulu.”

Sejak saat itu, taman kecil itu tidak hanya menjadi tempat pelarian. Ia menjadi tempat di mana aku belajar bahwa cinta tidak harus selalu besar atau dramatis. Terkadang, cinta hadir dalam keheningan yang nyaman, dalam senyum sederhana, atau dalam senja yang kita nikmati bersama seseorang yang istimewa.

Senja di Taman Kota

Di tengah hiruk-pikuk kota, ada sebuah taman kecil yang sering kukunjungi saat senja menjelang. Tempat itu memiliki keajaiban tersendiri—ang...